Dampak Negatif Bonus Demografi Indonesia
Di dalam mata pelajaran Geografi dulu di SMA, kita pernah mempelajari komposisi penduduk berdasarkan usianya. Negara yang berkembang ditandai dengan lebih banyaknya angka kelahiran, ketimbang angka kematian penduduknya. Untuk komposisi negara modern, biasanya jumlah angka kelahiran dan kematian berimbang. Ada juga negara yang angka kelahiran lebih sedikit, ketimbang angka kematian. Selanjutnya jika dibuat dalam bentuk grafis, akan didapat ilustrasi dalam bentuk piramida.
Contoh konkret untuk kategori ketiga ini (penduduk usia tua lebih banyak) ada di tempat kerja saya. Terhitung sudah ada dua orang tenaga kerja yang di kirim dari Jepang ke tempat saya dengan usia di atas 60 tahun. Ketika saya ngobrol dengan mereka, ternyata mereka merupakan pensiunan, namun mereka masih mengikuti program pemerintah Jepang untuk dikirim ke Indonesia. Salah satu pekerja yang hampir berusia 70 tahun, bahkan belum menikah (paling tidak ini kabar terakhir saya dengar).
Nah, kita sering mendengar istilah bonus demografi Indonesia. Ketika angka kelahiran lebih tinggi daripada angka kematian, maka otomatis negara tersebut lebih banyak memiliki komposisi sumber daya manusia yang produktif. Ini karena jumlah penduduk usia produktif antara 17-40 tahun menjadi sangat banyak di negara tersebut. Hal ini tentunya salah satu faktor yang sangat berguna bagi perkembangan suatu negara agar dapat menjadi lebih baik lagi.
Sayangnya, bonus demografi ini jika tidak disikapi dengan baik, justru akan menjadi faktor penghambat kemajuan suatu negara. Jika jumlah usia produktif mencapai 60%-70% dari total penduduk, maka negara harus memikirkan bagaimana mengalokasikan berbagai peluang kerja kepada para tenaga kerja produktif tersebut. Sebaliknya jika tidak, hal ini dapat mengakibatkan lonjakan angka pengangguran di suatu negara. Tingginya angka pengangguran akan menyebabkan berbagai masalah lain, salah satunya adalah kriminalitas.
Bonus demografi ini jika dikaitkan dengan hukum permintaan dan penawaran, dapat diasumsikan bahwa tenaga kerja di Indonesia menjadi sangat murah. Bagaimana tidak, persediaan tenaga kerja melimpah ruah, sementara jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia sangat sedikit. Ini berarti, posisi bargain tawar menawar gaji menjadi sedikit. Belum lagi skema kontrak yang ditawarkan menjadi alasan suatu perusahaan untuk kerja agar dapat mengganti dengan tenaga kerja lain.
Kejadian baru-baru ini terbilang cukup menyedihkan, tentunya terkait dengan bonus demografi tadi. Jadi, salah satu gudang ekspedisi di Surabaya melakukan proses rekrutmen untuk penempatan di gudang. Dalam proses perekrutannya, karyawan harus melewati fase training dulu. Nah untuk posisi training ini, mereka tidak dibayar dan bahkan diwajibkan untuk membeli rompi.
Yang menjadi persoalan adalah, setelah proses training selesai, calon karyawan tadi tidak kunjung dipanggil untuk bekerja. Dari sinilah muncul asumsi bahwa perusahaan perekrut cuma ingin memperoleh tenaga kerja yang tidak dibayar. Belum lagi embel-embel kewajiban untuk membeli rompi sebesar 30.000 Rupiah, namun ketika dilacak oleh netizen, harga rompi tersebut hanya Rp 9.000.
Comments
Post a Comment